Not a Small Thing

Ini adalah sebuah catatan kecil yang tidak sengaja saya rekam pada salah satu perjalanan singkat saya bersama ayah saya dari Purworejo menuju kota Solo tercinta. Pada satu siang yang terik itu, saya berangkat ke solo berboncengan motor dengan ayah saya, soalnya saya belum mempunyai SIM sehingga tidak memungkinkan saya untuk menempuh perjalanan jauh seorang diri.



Hmmm, sebenarnya saya juga meragukan hal ini : kalaupun saya sudah punya SIM kelak apakah saya berani bolak-balik Purworejo-Jogja sendirian, alias single roader, alias pengendara tunggal, alias naik motor tanpa diboncengin, alias berarti saya harus menghapal jalan sepanjang beratus kilometer dan itu bagi saya lebih rumit daripada menghafal alur – alur metabolisme tubuh, klasifikasi invertebrata, klasifikasi cryptogamae, anatomi chordata, Ilmu kesehatan dan gizi, anatomi morfologi tumbuhan, dan yang membuat saya lebih bingung lagi kenapa juga saya mesti mengungkit-ungkit mata kuliah semester lalu ini yang konon nilainya tidak memuaskan-memuaskan amat. Untuk itu saya mesti lebih banyak bersyukur atas kasih karunia yang dianugerahkan pada saya sehingga saya bisa lulus dari semester tiga dengan perjuangan yang tidak perlu diragukan lagi. Lho? Entahlah. Cukup sekian dan terima kasih.


Back to the red line, singkat cerita (sebenarnya tidak sesingkat ini), kami pun tiba di Yogyakarta, kota pelajar yang juga disebut kota seribu bangjo. Dengan kecepatan standar seorang pria sejati, ayah saya mengendara motor ijo saya, menerobos jalanan ramai berdebu di tengah mendung yang mulai menggelayut di awan-awan.


Entah berapa lampu hijau kami lalui, entah berapa kali kami berhenti di lampu merah, dan entah berapa kali kami tidak menggubris lampu kuning-yang berarti jalan pelan-pelan. Entah berapa kali kami berbelok ke arah kanan atau ke kiri, yang jelas kami selalu berjalan maju (Ya iyalah! Hehehe). Pada akhirnya kami sampai pada suatu pertigaan. Satu jalan dari arah yang kami lalui, satu jalan lurus ke arah depan, dan satu jalan membelok ke arah kanan. Ada satu paket lampu lalu lintas pada permulaan cabang jalan di depan kami. Awalnya ayah saya santai saja mempertahankan kecepatan sebab lampu di depan menunjuk warna hijau disertai tulisan : “lurus jalan terus”. Tapi semakin mendekati ke pertigaan banyak pengendara kendaraan bermotor yang berhenti di sisi kanan jalan menuju arah belokan ke kanan, dan ayah saya yang mungkin secara tiba-tiba melihat lampu merah di sisi kanan jalan menuju belokan ke kanan pun juga ikut berhenti, tapi di sisi kiri jalan, dan secara sangat mendadak sampai-sampai saya heran, kaget dan bertanya-tanya dalam hati. Waktu itu saya pikir ayah saya hendak mengambil arah kanan makanya berhenti, padahal lampu lalu lintas di atas sana menunjukkan warna hijau.


Bisa dibayangkan apa yang terjadi di belakang kami, rentetan bunyi klakson panjang dan keras, cacian atas kami yang berhenti tepat di marka jalan tatkala lampu hijau menyala, pandangan menjengkelkan dari orang-orang di sekeliling kami dan juga berbagai macam perasaan mati gaya yang tidak mengenakkan. Ya, kami jadi pusat perhatian. Hal itu jelas bukan posisi yang menguntungkan bagi saya dan ayah saya. Saya bisa menangkap perasaan bersalah ayah saya karena berhenti tanpa alasan, ah.. entahlah. Ayah saya mencoba agak melipir ke arah kanan jalan, tapi posisi motor kami sangat mepet dengan marka jalan, ditambah kendaraan lain yang tidak sabaran pengen segera melewati kami. Ahhh, pokoknya semua pengguna jalan di situ, detik itu terasa begitu menyebalkan bagi saya. Okelah, kami memang salah posisi, tapi come on-lah, itu jelas-jelas bukan kesengajaan yang direncanakan.


Mungkin mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang terhakimi. Tapi di tengah-tengah kebisingan dan caci maki tersebut, di saat orang lain hanya bisa memandang kami dengan ekspresi - ni-orang-kok-bego-banget-sih?, ada satu orang yang tidak begitu. Seorang bapak-bapak, atau mungkin mas-mas, atau mungkin om-om, atau mungkin kakek-kakek (eh, kayaknya bukan kakek-kakek deh. Soalnya perawakannya masih terlihat macho getoo) berjaket kulit, dan posisinya paling dekat dengan kami, berada di sisi kanan jalan (dan posisinya tepat!), mungkin merasa kasihan atau entah kenapa (saya tidak memperhatikan wajahnya apalagi ekspresinya dan kalaupun saya memperhatikan, mana bisa saya melihat parasnya wong orang itu pakai helm + masker kok!), dia mengisyaratkan agar kami agak mepet ke tepi kanan dengan lambaian tangan berniat membantu, sambil manggut-manggut kepala yang entah berarti apa.


Pada intinya, posisi kami tetap saja sama : krugat-kruget di posisi semula sampai akhirnya beberapa detik kemudian ayah saya jalan terus. Ambil jalan lurus. Dan ternyata memang arah itulah yang menjadi tujuan perjalanan kami, bukan belok ke kanan. Hanya saja yah saya salah melihat lampu lalu lintas di arah kanan. Satu jalan ada dua macam lampu bangjo, ya baru kali ini deh kayaknya saya lewati (terserah mau dibilang katrok atau apapun, tapi ini jujur lho).


Pokoknya siang itu cukup berkesan bagi saya, mungkin isyarat pria berjaket kulit di jalan itu tidak begitu membantu posisi saya dan ayah saya. Toh hanya sebuah isyarat kecil? Tapi tentu saja tidak bagi saya. Di tengah-tengah situasi terpojok, seakan-akan tak ada yang mau memahami kami, tak ada yang mau peduli atas kesalahan posisi kami, pria itu mampu bersikap berbeda. Mungkin hal itu hanyalah sebuah perbedaan kecil, tapi itu cukup bagi saya untuk berpikir bahwa ternyata masih ada orang yang mau peduli, masih ada orang yang mau membela kami sekalipun kami salah. Sesederhana itu.


Sepanjang sisa perjalanan, saya terus berdoa untuk orang itu, untuk keluarganya di rumah, untuk pekerjaanya, untuk keuangannnya, untuk kesuksesannya, dan untuk keselamatannya. Saya memang tidak tahu orang itu siapa, dan barangkali orang itu juga tidak pernah mengingat kejadian siang itu. Mungkin baginya apa yang dilakukannya siang itu hanyalah sesuatu yang kecil, tapi bagi saya hal itu sama sekali bukan hal kecil.

Dari situ saya belajar : jangan pernah mengukur kepedulian seseorang berdasarkan kuantitasnya. Mungkin saat ini saya banyak mendapat kepedulian dari banyak pihak, entah yang saya sadari ataupun tidak. Untuk itu saya wajib bersyukur dan bersukacita senantiasa. Kejadian itu terus menginspirasi saya untuk belajar peduli sebab kepedulian bukanlah hal yang kecil. Siapa tahu hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain begitu berarti bagi orang itu sehingga mampu membuatnya makin bersyukur dan bersukacita karena Tuhan.


*O iya ada satu perkataan ayah saya yang terlontar setelah peristiwa itu yang intinya : Jo gampang kagetan, nang kutho gedhe kudu siap mental. Yen pancen salah yo wes, tapi ra sah wedi neruske opo sing nang ngarepmu . Dari perkataan tersebut saya bisa menangkap makna lain yang intinya : Kadang orang lain tidak mau menerima kesalahan, entah sengaja ataupun tidak, tak apa. Itu hak mereka. Tapi jangan sampai perjalanan hidup kita hanya ditentukan oleh penerimaan orang lain atas kita. Ayah saya bisa saja hanya asal ngendikan, tapi itu benar-benar berarti bagi saya :)


Yuk tetep peduli^^

Caring sincerely. Whatever it is, it will never be a small thing, but don't be pleased to do this

GBU.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar