Analogi perbandingan : Misuh-misuh dan Hari Ibu
Sebagai orang dengan karekteristik sanguin-plegmatik, saya menyadari kondisi saya yang sering mengalami perubahan mood. Semalam ada hal yang sebenarnya sangat sepele namun pada akhirnya sukses membuat mood saya tidak karuan. Hanya karena untuk suatu hal yang (okelah, menurut saya) bukan sebuah kesalahan, baik untuk saya maupun untuk teman saya itu. It’s fine kejadian tadi sore hanya masalah posisi dan waktu, sayangnya dengan sangat menyesal saya tidak bisa secara gamblang menjelaskan persoalan itu disini. Pada intinya saya hanya mencoba meminta maaf atas perihal posisi dan waktu yang tidak tepat itu, dengan harapan teman saya menemukan moodnya kembali. Mungkin ini salah satu kesalahan penyimpulan atas kondisi teman saya saat itu karena saya menyimpulkan mood teman saya sedang dalam kondisi tidak baik itu hanya berdasarkan sms pendek.
Dan yang jadi merusak mood saya adalah, permintaan maaf saya tidak digagas sedikitpun. Bahkan tidak ada pertanyaan kenapa saya meminta maaf. Untuk sesuatu yang saya kira tidak fatal-fatal amat, untuk sesuatu yang tidak saya sengaja terjadi saat itu.
Hingga pada akhirnya saya sms-an dengan salah seorang teman yang tumben-tumbennya sempat sms saya, padahal hari berikutnya dia ada Responsi Fisiologi Tumbuhan yang konon materinya seabreg jegreg. Tiba-tiba kami sampai pada topik tentang “blog”. Saya yang baru saja membaca blognya sampai geleng-geleng kepala melihat tulisan teman saya tersebut, isinya dia sedang misuh-misuh meluapkan emosi karena kekecewaannya pada seorang teman. Saya membatin, ternyata bukan saya saja yang sedang ingin misuh-misuh. Dari sini saya dapat sedikit menyimpulkan, terkadang orang memang perlu meluapkan emosi dan kekecewaannya dalam bentuk yang tepat sebelun semuanya itu terlanjur meledak dan menimbulkan hujan abu yang mengancam keamanan dan kenyamanan berbagai pihak. Hehehehe. Ya, salah satu bentuk itu adalah dengan tulisan. Bukan dengan sembarangan memuntahkan larva pijar ke segala penjuru dunia.
Hari ini, 22 Desember, kalian pasti tahu sekarang adalah Hari Ibu. Memperbandingkan teman saya yang baru misuh-misuh, saya yang kena misuh-misuh, atau saya yang sedang ingin misuh-misuh dan Hari Ibu sepertinya adalah sesuatu yang tidak sinkron. Tapi saat ini, hal itulah yang ada di dalam hati kecil ini. Saya teringat ibu saya di rumah, yang begitu memahami saya. Yang tak memerlukan kata maaf dari saya meskipun banyak alasan untuk saya harus mengucapkan kata maaf kepadanya. Yang dengan sabarnya selalu mengatakan “Yo wes ra popo, ojo dibaleni maneh”, meskipun sebenarnya itu juga merupakan pengulangan kesalahan yang sama. Saya mencoba memposisikan diri saya pada posisi ibu saya, kalau misalnya saya punya anak seperti saya sekarang ini kira-kira seberapa sering saya misuh-misuh ya? Jangan-jangan isi blog saya ini penuh dengan topik tentang misuh-misuh? Apa yang akan saya lakukan seandainya saya punya anak yang suka ngeyel, mood-moodan, berisik, suka tidur, makan mlulu, kerjaannya minta beliin pulsa terus, nonton TV tak tahu waktu, sms-an mlulu, dan lain sebagainya yang pada intinya menimbulkan mood saya berubah-ubah?
Sampai sejauh yang saya berhasil ingat, saya bisa mengajukan hipotesis bahwa saya masih jauh dari karakteristik “anak manis” yang ibu saya ajukan. Tapi sampai saat ini saya belum pernah tahu ibu saya misuh-misuh karena target yang diharapkannya belum nampak tercapai. Yang ada malah saya yang kelihatan manyun-manyun ketika merasa target ibu saya terlalu besar untuk saya. Meskipun demikian saya tak pernah memiliki alasan untuk misuh-misuh pada ibu saya, betapapun saya menginginkannya. Dan saya tahu betapa pun saya bertingkah polah menyebalkan pada ibu saya, ibu saya tak akan sampai hati misuh-misuh pada saya. Kalaupun saya sudah kelewatan, dia aka menasehati dengan cara yang lain, meskipun kadang saya merasa itu adalah sebuah kemarahan, tapi saya rasa itu bukan hal utama yang ingin ditunjukkan beliau. Untuk itu, saya bersyukur memiliki beliau.
Dan untuk sesuatu yang dengan mudahnya saya anggap telah sempat merusak mood saya, hal itu tidak perlu dijadikan alasan untuk misuh-misuh berkepanjangan. Saya tahu tidak ada faktor kesengajaan. Dan saya rasa ketika saya sudah melakukan apa yang menjadi bagian saya saat ini, itu sudah cukup.
Pada intinya, saya tidak bisa selalu melihat segala sesuatu yang terjadi di sekitar saya hanya berdasarkan kacamata pribadi saya. Saya hidup di tengah-tengah komunitas yang berada di luar kontrol saya, dengan free will yang dianugerahkan pada masing-masing mereka. Mereka mempunyai kontrol terhadap diri mereka. Mereka memegang kemudinya sendiri, dan kalaupun suatu saat terjadi benturan, itu bukanlah hal yang saya yakin tidak disengaja, tidak kita harapkan.
Ketika saya sudah mengatur posisi saya pada ruang yang tepat dan waktu yang tepat, maka itulah saat dimana saya sudah melakukan bagian saya. Kalaupun saya berada pada posisi yang salah di waktu yang salah, itu tidak mungkin saya sengaja. Kalaupun ada yang menganggap ketidaktepatan itu sebagai sebuah bentuk kesengajaan, saya minta maaf untuk itu. Saya akan belajar mengatur posisi lebih baik lagi.
Akhir kata, selamat hari Ibu...
*Terinspirasi dari ibu saya.